Al Walid bin Muslim menceritakan dari Ibnu Jabir: "Sungguh Abu Abdi Rabb termasuk orang yang paling banyak hartanya di kota Damaskus, suatu saat dia pergi ke Azerbaijan untuk keperluan dagang. Di suatu sore dia pergi ke padang rumput dan sungai, lalu dia pun turun ke sungai untuk menikmati keindahannya".
Abu Abdi Rabb mengatakan: "Aku mendengar suara yang senantiasa mengucapkan hamdalah dari salah satu lubang yang ada di pinggiran sungai. aku pun mencari dan mengikuti arah suara tersebut hingga ku dapati suara tersebut berasal dari seorang lelaki yang sedang berdiam diri di salah satu lubang di pinggiran sungai sambil beralas tikar yang sekaligus menjadi penutup auratnya. Aku ucapkan salam padanya dan ku tanyakan: Siapa engkau wahai hamba Allah?!!", "Saya hanyalah salah seorang dari kaum Muslimin" ujarnya. "Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?" tanyaku kembali. Dia pun menjawab: "Ini merupakan nikmat-nikmat yang aku dapatkan dan harus aku syukuri!", aku pun heran dan berkata: "nikmat bagaimana? sedang engkau hanya memiliki sebuah tikar yang sekaligus jadi penutup auratmu".
"Bagaimana mungkin aku tidak bersyukur kepada Allah sedangkan Dia telah menciptakanku dan menyempurnakannya, Dia menjadikanku lahir dan tumbuh dalam Islam, Dia menganugrahkan kesehatan pada sekujur tubuhku, Dia menutup aib dan kekuranganku yang aku sendiri tidak ingin ada yang tahu selainku, maka siapakah yang lebih banyak lagi nikmatnya bila dibandingkan keadaanku sore ini?!!".
"Semoga Allah merahmatimu wahai saudaraku! Bagaimana bila kau keluar saja dari lubang ini dan ikut ke rumahku?..." "Untuk apa?!!!" timpalnya. "Aku akan memberimu makanan dan pakaian yang layak sebagai pengganti tikarmu itu" kataku. "Tapi aku tidak membutuhkan apa-apa darimu!" jawab lelaki itu.
Sehingga Al Walid mengatakan: "Seolah-olah dia berkata bahwa dengan memakan rerumputan saja sudah lebih dari mencukupi atas apa yang ditawarkan oleh Abu Abdi Rabb".
Abu Abdi rabb merasa tersentuh atas kejadian itu, dia lalu pergi dari tempat itu sambil mencela dan merendahkan dirinya sendiri "Sungguh di Damaskus tidak aku dapati seseorang yang lebih kaya daripada aku, toh seperti itu aku masih saja tetap merasa perlu semakin kaya, ya Allah sungguh aku bertaubat kepada-Mu atas keburukan-keburukan yang selama ini ada padaku!".
Malam itu saya masih bermalam di Azerbaijan dengan penuh perasaan sedih dan bersalah meski rekan kerja dan teman-teman dagangku yang lain tidak ada yang mengetahui perasaanku.Tatkala memasuki waktu sahur sebelum fajar menyingsing, rekan kerja dan teman-temanku yang lain hendak melanjutkan perjalanan dagang mereka seperti biasa. mereka pun menghampiriku supaya bersegera berangkat bersama mereka. Aku naiki kendaraanku dan ku arahkan kendaraanku kembali ke arah Damaskus. Dalam hati saya berujar: "Aku belum benar-benar bertaubat jika ku lanjutkan perjalanan dagang ini". Keheranan, mereka pun menanyakan keadaan, maksud dan tujuanku pulang ke Damaskus. Ku ceritakan kejadian yang sebenarnya lalu mereka mencelaku atas keputusan yang telah ku ambil. Namun aku sudah tidak menghiaraukannya lagi.
Al Walid mengisahkan kembali apa yang Ibnu Jabir katakan, bahwa ketika Abu Abdi Rabb sampai di Damaskus dia segera menyedekahkan seluruh hartanya, baik emas maupun perak. Dia infaqkan seluruhnya di jalan Allah hingga tidak tersisa kecuali hanya rumahnya saja. Rumah itu pun dia jual kembali dengan harga yang fantastis untuk kemudian dibagi-bagikan hasil penjualannya.
Bersamaan dengan hal itu, ternyata ajal menjemputnya. Tapi orang-orang sudah tidak mendapati harta yang tertinggal kecuali hanya uang yang tidak seberapa yang hanya cukup untuk membeli kain kafannya saja. Semoga Allah merahmatinya!.
Dinukil dari kitab (Tarikh Dimisyq) karya Abul Qasim Ali bin AlHasan bin Hibatullah atau yang lebih dikenal dengan Ibnu 'Asakir(wafat tahun 571H).
0 Response to "Harga Sebuah Rasa Syukur"
Post a Comment